Selasa, 29 Juli 2014

Sebuah Pilihan

Sebuah pilihan selalu memiliki konsekuensi, seperti sebuah cerita yang selalu punya sisi indah untuk dikenang. Ya, dulunya kupikir memilih Sekolah Tinggi Ilmu Statistik sebagai tempatku melanjutkan pendidikan adalah pilihan yang paling menjanjikan, namun apakah benar? Apakah STIS benar-benar menjanjikan untuk masa depan? Apakah kuliah di STIS benar-benar lebih baik daripada kuliah di universitas maupun perguruan tinggi kedinasan lainnya?



Aku tidak pernah memikirkan itu sebelumnya. Ketertarikan ku pada
STIS memang melebihi rata-rata manusia normal. Ketika semua orang ragu menjawab "mana yang akan kamu pilih?" Aku bisa menjawab tegas dengan tanpa keraguan sedikitpun untuk memilih STIS dan meninggalkan hasil kerja keras ku di SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri) tahun 2013. Tentu saja aku tau konsekuensi dari pilihan ini, akupun telah menimbang dengan matang serta mendengar pendapat dari orang lain tentang pilihan ini, namun apakah saat ini aku menyesal?

Sebelum menjawab itu, aku ingin sedikit bercerita tentang betapa berat medan yang harus aku lewati setelah aku sadar betapa pentingnya masa depan. Normalnya, seorang anak SMA baru akan memikirkan perkuliahan setelah menginjak kelas XII, namun seperti biasa, aku abnormal. Aku sudah memikirkan kuliah sejak menginjak akhir semester 2 kelas X. Aku telah memikirkan langkah-langkah menuju universitas favorit seperti UI, UGM, dan ITB. Ya, hanya sebatas memikirkan "langkah-langkah". Untuk mulai merealisasikan langkah-langkah itu, aku tidak punya cukup kekuatan dan kemauan karena kesibukan masa SMA yang penuh dengan kegiatan lomba serta organisasi yang pada akhirnya hanya menjadi kenangan di atas kertas saja tanpa ada manfaat nyata terkait perkuliahan dan masa depan.


Ya, hanya kenangan, bisa kukatakan pengalaman buruk. Aku terlalu bodoh karena menenggelamkan diriku ke dalam jabatan yang pada akhirnya mengurangi waktu belajarku dengan sangat signifikan dan memecah fokusku dalam berkarya semasa SMA. Bukan karena berorganisasi itu buruk, tapi karena sistem yang ada di tempatku pada waktu itu belum cukup matang dan aku pun belum cukup pintar untuk dapat memperbaiki sistem tsb, hingga pada akhirnya, jabatan ini hanya menyisakan dendam dan rasa sakit. Astaghfirullah. Semua targetku di kelas XI gagal, dan aku benar-benar merasa terpuruk pada waktu itu, apalagi ketika dikalahkan oleh temanku dalam sebuah event yang aku impikan, benar-benar sebuah tamparan yang menyadarkan aku dari kejayaan semu masa SMA.

Naik ke kelas XII, aku mulai merasa sedikit tenang mengingat sebentar lagi akan melepaskan jabatan di OSIS. Meski terjadi sedikit konflik dalam penggantian kepengurusan, namun semuanya pada akhirnya dapat dilewati dan setidaknya aku bisa bebas dan fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi UN dan tes masuk perguruan tinggi. 


Aku mulai merasa ketinggalan begitu banyak pelajaran sebagai akibat dari kesibukan yang tidak jelas di kelas XI. Aku tau ini akan terjadi, karenanya aku pun mulai belajar dg keras dan fokus, mengingat kapasitas guru di tempatku yang hanya sebuah sekolah di kota terpencil ini sangat terbatas. Hanya beberapa orang guru saja yang memang punya kualitas bagus. Menyikapi hal tersebut, akupun ikut bimbel di GO (Ganesha Operation), dan mulai meningkatkan intensitas belajarku di rumah demi untuk mempersiapkan diri menghadapi UN dan tes perguruan tinggi.

Namun begitulah sistem, tidak cukup hanya memakaiku di kelas X dan XI, sekolah kembali mengirimku untuk mengikuti lomba ketika aku berada di kelas XII, dan aku hanya seorang pelajar tanpa dosa yang tak sanggup menolak ini. Belajarku kembali terganggu meski hanya beberapa saat.



Barulah ketika memasuki semester 2, aku bisa fokus pada pembelajaran akademik. Ketika itu adalah pertama kalinya UN diselenggarakan dengan 20 paket soal dan tidak ada bocoran kunci sama sekali di daerah kami. Sontak, para siswa kelas XII langsung bertobat dan mulai menciptakan suasana kondusif untuk belajar. Antusiasme belajar yang tidak biasa, sampai mereka rela datang ke rumahku untuk belajar sampai larut malam dan bahkan sampai ada yang menginap, benar-benar sebuah fenomena yang tidak biasa.



Di semester 2 ini pula aku mulai mengenal STIS, ketika para siswa kelas XII mulai antusias membicarakan tempat kuliah, aku tidak sengaja mendengar nama STIS terucap dari mulut temanku. Dia pun menjelaskan apa yang diketahuinya tentang kampus itu. Namun, aku yang tidak pernah cukup puas dengan penjelasan orang, kemudian mulai mencari informasi tentang STIS di Internet. Dan ketertarikan ku pun mulai terpupuk pada sekolah yang tidak biasa ini. 


Satu hal yang aku sadari ketika aku sudah cukup memperoleh informasi tentang STIS adalah, cukup sulit untuk bisa masuk ke kampus ini karena adanya proses seleksi yang sangat ketat. Ya, jumlah peminatnya tiap tahun tidak pernah kurang dari 25ribu orang se-Indonesia dan yang diambil hanya berkisar 500 orang. Aku tau ini tidak akan mudah, karena itu, aku tidak mematok akan lulus di sini, tapi aku akan berusaha belajar dg maksimal untuk menghadapi Ujian Saringan Masuk STIS ini. Akupun mulai belajar dan mendownload soal-soal USM tahun lalu yang aku temukan di internet. Sekitar beberapa minggu sebelum USM STIS, aku mendapatkan buku kumpulan soal dan pembahasan USM STIS 2013, ya, dari situlah aku akhirnya belajar dan membandingkan hasil jawabanku pada soal-soal yang telah kujawab sebelumnya. 

Kurang lebih sekitar seminggu setelah UN usai, tibalah waktunya menghadapi USM STIS, dan aku benar-benar dalam kondisi yang prima pada saat itu. Meskipun pada akhirnya aku tidak berani menjanjikan kelulusan dari USM ini.

Aku benar-benar sadar bahwa aku hanya seorang siswa yang kebetulan jadi juara di sebuah kota terpencil, kemampuan dan kapasitasku masih sangat kurang, aku tidak sepenuhnya yakin akan lulus di STIS, dan aku juga tidak punya cukup ilmu untuk menghadapi SBMPTN, oleh karena itu, 3 hari setelah USM STIS, aku berangkat untuk mengikuti bimbel SBMPTN di Bandung.


Bimbel di luar kota untuk menghadapi SBMPTN terdengar sudah terlalu mainstream, tapi apa yang aku lakukan tidak seperti kebanyakan orang. Jika aku ingat lagi, aku serasa ingin muntah menghadapi begitu banyak soal selama satu bulan itu. Aku bimbel di Rumah Belajar Daniel, mengambil paket VIP, di mana belajar per hari selama 5jam+tutor dan ditunjang dg alat pembelajaran lengkap (buku rumus, materi, soal) serta dosen yang kebanyakan lulusan ITB dengan biaya bimbel sekitar 7,5jt-an. Nominal yang cukup besar untuk sebuah spekulasi menuju masa depan bagi orang-orang di kampungku, tapi aku yakin ini adalah langkah yang paling tepat untukku saat ini.


begini lah siklus hidupku selama satu bulan penuh menjelang SBMPTN : bangun subuh, sholat, kemudian buka buku ngerjain soal-soal, setelah itu mandi pagi dan berangkat bimbel. Bimbel mulai jam 7 dan selesai jam 12. Sepulang bimbel, sholat zuhur dan makan siang, kemudian tidur siang 2 jam, dan lanjut belajar lagi sampai larut malam jam 11-an. Aku hanya berhenti belajar untuk makan dan sholat. Selebihnya, tidak pernah lepas dari buku. 

Bukan lah hal yang mudah untuk orang sepertiku untuk konsisten belajar selama satu bulan penuh ini, namun kemauan keras dan rasa jengkel terhadap masa SMA yang tersia-siakan membuatku tetap berjuang meski kadang lelah, meski sering merasa sulit. Sama ketika SNMPTN diumumkan, aku yang telah menorehkan banyak prestasi dan beragam sertifikat di masa SMA ternyata tetap tidak dapat lulus pada seleksi jalur undangan tersebut, ya, aku semakin merasa hina, merasa tidak ada penghargaan sama sekali dari hasil keringatku selama ini, merasa aku telah dibodohi oleh orang-orang dan sistem yang ada di sekolahku waktu itu. Terlalu banyak teori dan harapan-harapan palsu yang bullshit dan tidak sesuai dg kenyataan.



Untunglah waktu SMA dulu aku dipertemukan dg seorang guru yang benar-benar bijak yang telah memotivasi dan mengarahkanku dg logika, yang menasehatiku bahwa aku tidak boleh bergantung pada SNMPTN meskipun nilai raporku bagus dan stabil serta prestasiku banyak. Nasehat dari bapak itu sudah menyelamatkanku dan memperbaiki cara pandangku tentang pendidikan. Ternyata masih ada orang yang baik dan benar seperti bapak itu di tengah gumulan sampah yg ada di sekelilingku saat itu.

Ya, aku telah berjuang sangat keras, melebihi porsi belajar orang normal, melebihi tekad dan emosi orang normal, merasakan kesakitan batin yang lebih pedih dari kebanyakan orang, dan Tuhan itu benar-benar tidak tidur, Tuhan itu benar-benar Maha Adil. Hasil kerja kerasku terbalas dalam kelulusan ku pada UN, juga pada SBMPTN.





Kebahagiaan itupun disusul dengan pengumuman kelulusanku pada seleksi tahap akhir USM STIS. Alhamdulillah. Ya, aku lulus di dua tempat, STIS dan UGM. Sampailah aku di persimpangan jalan di mana aku harus menentukan sebuah pilihan yang akan menjadi salah satu keputusan yang berpengaruh dalam hidupku. 


Pada akhirnya, setelah berpikir dengan mempertimbangkan berbagai hal, aku memilih STIS sebagai tempatku melanjutkan pendidikan. Bukan karena aku tidak bisa lulus di universitas yang bagus, bukan karena orang tuaku tidak punya uang untuk kuliahku, tapi ini adalah sebuah pilihan yang aku pilih sendiri sebagai seorang manusia yg punya hak prerogatif atas dirinya sendiri. Sebuah keputusan yang tidak akan pernah kusesali meski aku harus terjatuh, terhempas, dan bahkan terseok suatu saat nanti karenanya. Sebuah keputusan yang akan melahirkan konsekuensi-konsekuensi dalam hidupku, dan juga keputusan yang akan melahirkan berbagai kenangan yang akan terukir indah dalam bingkai kisah masa depan. 

Ini jalanku, mana jalanmu? :)







1 komentar:

  1. Our paths are different, Dio. But we believe the path that we take is a good way, which will lead us to success, Insya Allah. We know that we are good people, and our friends as well. But still appreciate the past because it has led us to be like this, and the future will be welcomed with a smile. So keep in mind Brother, and keep smile :)

    BalasHapus